Ini Usul ALFI, Terkait Distribusi Logistik Vaksin Covid-19

Category : Events | Sub Category : Internal Posted on 2021-01-19 00:00:00

Share: Facebook | Twitter | Whatsapp | Linkedin


Ini Usul ALFI, Terkait Distribusi Logistik Vaksin Covid-19

JAKARTA â€“ Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia mengusulkan pentingnya kerjasama intensif dalam kegiatan distribusi logistik Vaksin Covid-19.

Ketua Umum  DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi, mengemukakan bahwa logistik dan distribusi vaksin covid-19 sudah seharusnya menjadi pekerjaan bersama.

Pasalnya, kata dia, estimasi kapasitas distribusi vaksin nasional per tahunnya hanya sebanyak 43,9 juta dosis. Artinya, dalam keadaan normal, jumlah vaksin covid-19 selesai didistribusikan dalam 9-10 tahun.

“Oleh karenanya pemerintah harus memiliki pola disribusi yang matang dan terperinci. Distribusi vaksin tidak bisa dilakukan menggunakan jalur logistik biasa, harus ada pembenahan jika pemerintah ingin distribusi berlangsung lancar,” ujar Yukki melalui keterangan pers-nya, pada Jumat (15/1/2021).

Melihat skalanya yang raksasa dan harus dilakukan secara cepat, dia berpendapat bahwa logistik vaksin kali ini harus dilakukan bersama, bahu-membahu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta.

Jika pihaknya akan dilibatkan dalam distribusi vaksin covid-19, Yukki mengusulkan beberapa ide distribusi untuk pemerintah dari skema atau pola pengiriman, infrastruktur dan fasilitas, hingga sistem yang digunakan.

Yukki mengusulkan agar pemerintah menentukan beberapa titik atau pusat penyaluran vaksin (hub) di kota-kota besar di Indonesia. Hub-hub ini lah yang akan bertanggungjawab menyalurkan vaksin covid-19 ke kabupaten/kota tertentu.

Kemudian, dari hub vaksin ditransportasikan ke Rumah Sakit (RS) tempat calon penerima vaksin dijadwalkan menerima penyuntikan.

Dia menyarankan untuk tidak menyimpan stok vaksin di Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi masing-masing karena fasilitas dan infrastruktur di setiap Dinkes tidak merata.

Menurutnya, pemerintah harus hati-hati dalam mengkaji penyetoran vaksin. Pasalnya, salah kalkulasi dapat berakibat fatal. Contohnya, jika vaksin disimpan di tempat yang tak memiliki fasilitas cold storage atau pendingin sesuai kebutuhan, vaksin berpotensi rusak dan tak dapat digunakan.

Perlu diingat bahwa Indonesia berencana menggunakan 7 vaksin berbeda, artinya ketentuan penyimpanan suhu pun bervariasi dari minus 5 derajat hingga minus 70 derajat celcius. Ketujuhnya yaitu vaksin racikan Sinovac, Bio Farma, Sinopharm, Novavax, Pfizer-BioNTech, Oxford-AstraZeneca, dan Moderna.

Selain itu, dalam mentransportasikanya dari hub ke Rumah Sakit atau Puskesmas, vaksin harus disimpan di box atau container khusus yang telah mendapat sertifikasi cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan izin Badan POM. Vaksin tidak bisa disimpan di container dingin penyimpan biasa.

Cold Storage

Yukki mengatakan hingga saat ini, belum ada satu badan tunggal yang mampu mengadakan cold storage atau container dalam jumlah sebesar ini. Karena itu, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah dan berbagai perusahaan swasta.

Dia juga menegaskan siap jika diminta mendatangkan container minus 60 derajat, meskipun kontainer seperti itu belum ada di Indonesia.

“Dalam hal ini pemerintah tidak perlu membeli, bisa (disewa) lewat kesepakatan. Karena ini untuk kebaikan bersama, nanti prosesnya bisa secara terbuka,” ucap Yukki.

Usulan lainnya, kata Yukki, adalah pola pengiriman berbasis teknologi. Dia menyebut monitoring sama pentingnya dengan pengadaan vaksinasi.

Satu-satunya cara agar monitoring dapat dilakukan secara real time adalah dengan mengandalkan digitalisasi. Dengan pola ini, ia menyebut setiap vaksin yang akan disuntikkan telah memiliki barcode yang ditujukan oleh individu tertentu.

“Sistem monitoring ini bisa digunakan untuk mengevaluasi. Misalnya, jika terjadi efek samping atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), pemerintah dapat mengetahui vaksin apa yang disuntikkan kepada invididu yang mengalami KIPI,” ucapnya.

Yukki juga mengatakan, apabila fasilitas di daerah tertentu tidak memadai, maka dapat menyimpan vaksin di tempat-tempat yang memiliki tingkat pengamanan maksimal, contohnya bandara atau pelabuhan yang merupakan restricted area guna memudahkan monitoring oleh pemerintah.

Transportasi baru akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan jadwal dalam sistem, sehingga vaksin tidak lama mengendap di Dinkes atau pusat kesehatan yang mungkin sistem pengamanannya tidak terjamin,” tuturnya.

“Selain itu, perlu disiapkan pengolahan dan pemusnahan limbah pasca vaksinasi guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bersama atau oknum nakal yang memanfaatkan keadaan,” ucap Yukki.(am)

Leave a Comment: